Pernah merasa gaji sudah naik tapi tetap terasa kurang? Atau punya tabungan yang cukup, tapi tetap cemas seolah uang akan habis? Nah, itu bisa jadi tanda Sobat mengalami money dysmorphia.
Secara sederhana, money dysmorphia adalah kondisi emosional ketika seseorang merasa tidak puas, tertekan, atau cemas terhadap situasi keuangan mereka, meskipun secara objektif tidak ada masalah serius.
Orang dengan money dysmorphia biasanya:
- Takut kekurangan uang meski punya tabungan aman
- Merasa gagal karena penghasilan tidak sebesar orang lain
- Selalu merasa tertinggal dibanding pencapaian finansial teman sebaya
Jadi, masalahnya bukan pada jumlah uang, tapi pada cara kita memandang dan merasakan kondisi keuangan.
Penyebab Money Dysmorphia
1. Terlalu Sering Membandingkan Diri di Media Sosial
Media sosial sering jadi pemicu utama. Lihat orang lain posting beli mobil baru, liburan ke Eropa, atau sukses punya bisnis, otomatis muncul perasaan tertinggal.
Padahal, apa yang ditampilkan di media sosial sering kali hanya “sisi terbaik” dari hidup seseorang. Proses panjang, utang, atau tekanan yang mereka alami tidak terlihat. Akibatnya, Sobat merasa selalu kurang meski kondisi sebenarnya stabil.
2. Kurangnya Literasi Keuangan
Minim pengetahuan tentang pengelolaan uang bikin banyak orang salah kaprah. Fokusnya hanya gaya hidup, bukan kebutuhan dasar. Misalnya, lebih memikirkan beli gadget terbaru daripada menabung untuk dana darurat.
Kurangnya literasi ini membuat seseorang salah menilai keuangannya sendiri. Akhirnya, muncul perasaan “uang selalu habis” meski masalah sebenarnya ada di cara mengelola, bukan pada jumlah.
3. Tekanan Sosial dan Ekspektasi Lingkungan
Keluarga, teman, bahkan budaya bisa menambah tekanan. Contohnya, orang tua berharap anaknya cepat mapan, punya rumah di usia muda, atau teman sebaya yang sudah terlihat sukses lebih dulu.
Tekanan ini bisa membuat Sobat merasa gagal jika belum mencapai standar tersebut, meski sebenarnya perjalanan finansial setiap orang berbeda.
4. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman buruk soal uang, misalnya pernah terlilit utang atau kehilangan pekerjaan, bisa meninggalkan trauma. Akibatnya, meski kondisi keuangan sudah membaik, rasa takut dan cemas tetap membayangi.
Cara Mengatasi Money Dysmorphia

1. Sadari dan Akui Perasaanmu
Langkah pertama adalah menerima bahwa perasaan itu nyata. Jangan abaikan atau merasa malu.
Dengan mengakui perasaan tersebut, Sobat bisa lebih mudah memahami akar masalahnya: apakah karena membandingkan diri, ekspektasi keluarga, atau pengalaman masa lalu.
2. Batasi Konsumsi Media Sosial
Kalau media sosial sering bikin Sobat merasa kurang, coba detoks digital. Unfollow akun yang hanya memicu rasa iri, dan ikuti akun yang memberi edukasi keuangan atau motivasi positif.
Ingat, kesehatan mental jauh lebih penting daripada sekadar mengikuti tren. Dengan mengurangi paparan, Sobat bisa lebih fokus pada progres finansial pribadi.
3. Edukasi Diri tentang Pengelolaan Uang
Pengetahuan adalah kunci. Mulailah belajar:
- Membuat anggaran bulanan (budgeting)
- Menyisihkan uang untuk dana darurat
- Investasi sederhana, seperti emas atau reksa dana
- Cara mengatur utang dengan bijak
Semakin paham, semakin percaya diri dalam mengelola uang, dan semakin kecil peluang perasaan negatif menguasai diri.
4. Fokus pada Progres, Bukan Perbandingan
Jangan jadikan pencapaian orang lain sebagai standar. Bandingkan dirimu dengan versi dirimu sendiri di masa lalu.
Contoh: tahun lalu Sobat belum punya tabungan, tapi sekarang sudah bisa rutin menyisihkan 10% gaji. Itu sudah sebuah progres besar!
Hargai setiap langkah kecil, karena dari situlah stabilitas keuangan dibangun.
5. Bangun Mindset Finansial yang Sehat
Mulailah belajar bersyukur, menikmati proses, dan realistis terhadap kondisi keuangan pribadi. Ingat, sukses finansial itu maraton, bukan sprint. Setiap orang punya jalannya masing-masing.
Money dysmorphia adalah kondisi psikologis yang membuat seseorang merasa tidak pernah cukup secara finansial, meski secara faktual mereka stabil.
Penyebabnya bisa dari media sosial, minimnya literasi keuangan, tekanan sosial, hingga pengalaman masa lalu. Mengatasinya bukan hanya soal menambah penghasilan, tapi juga soal mengubah cara pandang terhadap uang.
Dengan menyadari perasaan, membatasi perbandingan, meningkatkan literasi finansial, dan fokus pada progres pribadi, Sobat bisa membangun hubungan yang lebih sehat dengan uang.
Ingat, uang itu alat, bukan tolok ukur kebahagiaan.









